Sejarah
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia lahir
pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok
Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah
yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3)
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal
dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari
Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan
bahasa persatuan bangsa <?xml:namespace prefix = st1 ns =
"urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" />Indonesia. Pada
tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa
nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan
bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang
berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh,
berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti
Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin,
dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di
mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh
keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam
pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap
kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia,
bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya
muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa
Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa
persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang
bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang
tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa
Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Keragaman
Bahasa Indonesia
Ragam bahasa dapat
didefinisikan sebagai kevariasian bahasa dalam pemakainya sebagai alat
komunikasi. Kevariasian bahasa ini terjadi karena beberapa hal, seperti: media
yang digunakan, hubungan pembicara, dan topik yang dibicarakan. Ragam Bahasa
bisa diartikan dengan variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda
menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang
yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Ragam bahasa yang oleh
penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang
biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis,
perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi
(seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Pembagian ragam bahasa
Berdasarkan media yang digunakan ragam bahasa di
bedakan atas :
a) Ragam
bahasa lisan: berpidato, berdiskusi, bertelepon
b) Ragam
bahasa tulis.
Ragam bahasa lisan di tandai dengan penggunaan lafal
atau pengucapan, intonasi (lagu kalimat), kosakata, penggunaan tata bahasa
dalam pembentukan kata, dan penyusunan kalimat. Ragam bahasa lisan terdiri
dari:
a) Ragam bahasa lisan baku
sejalan dengan ragam tulis bahasa tulis baku,
b) Ragam bahasa tulisan tidak
baku (bahasa pergaulan).
Ada 4 (empat) perbedaan ragam bahasa tulis dan lisan,
yaitu :
a) Ragam bahasa lisan biasanya
digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu.
b) Ragam bahasa lisan menggunakan komunikasi dua orang
atau lebih, ragam tulis tidaklah demikian.
c) Penggunaan ragam bahasa lisan dengan intonasi
dapat dimengerti, sedangkan ragam bahasa tulis lebih banyak menggunakan kaidah
bahasa baku.
d) Ragam bahasa tulis ditandai dengan kecermatan
menggunakan ejaan dan tanda baca (melambangkan intonasi), kosa kata, penggunaan
tata bahasa dalam pembentukan kata, penyusunan kalimat, paragraf, dan wacana.
Sedangkan ragam bahasa
yang cukup populer adalah ragam bahasa yang dikemukakan oleh Martin Joos. Joss membagi
ragam bahasa dilihat dari sisi keformalan. Dari tinjauan keformalan, suatu
bahasa bisa dipilah menjadi ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam
usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate).
Contoh ragam beku adalah bahasa – bahasa yang
digunakan dalam situasi formal yang khidmat, seperti pada upacara – upacara
resmi, upacara kenegaraan, khotbah di masjid, bahasa undang – undang dan
sejenisnya.
Contoh ragam formal adalah variasi bahasa yang
digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah
keagamaan, buku – buku pelajaran, dan sejenisnya.
Ragam usaha adalah
variasi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan sehari – hari di sekolah, rapat
– rapat yang berorientasi pada hasil. Ragam ini adalah ragam yang operasional.
Ragam santai atau ragam
casual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi.
Contohnya adalah bahasa yang banyak digunakan antar teman, sahabat, atau teman
dalam situasi kekeluargaan. Bentuk bahasa ini umumnya pendek – pendek, beberapa
kata yang tidak begitu penting dalam menentukan makna sering dilesapkan
sehingga secara gramatikal, ragam bahasa ini tidak selengkap struktur bahasa
ragam formal atau ragam beku.
Ragam yang paling tidak
formal adalah ragam akrab atau ragam intimate. Komunikasi antar suami-istri
atau sahabat yang hubungannya sangat dekat seringkali hanya menggunakan satu
atau dua kata, bahkan hanya isyarat saja.
Pembagian ragam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi
3 kelompok, yaitu:
a. Pembagian ragam bahasa berdasarkan
media/sarana, antara lain :
Ø Ragam bahasa lisan (tidak baku).
a) Kosa kata lebih menekankan pilihan kata yang
tidak baku.
Contoh : Adik pergi ke sekolah ngebawa buku pelajaran.
Kue bikinan ibuku sangat enak.
b) Bentuk kata bahasa lisan cenderung tidak
menggunakan imbuhan (awalan ataupun akhiran).
Contoh : Ketika bekerja ia malas sekali, kasihan
sekarang nganggur.
c) Kalimat cenderung tanpa unsur yang lengkap (tanpa
subjek, predikat, ataupun objek). Kejelasan kalimat dipengaruhi oleh unsur –
unsur situasi ketika kalimat tersebut diucapkan. Isi kalimat dapat dimengerti
tetapi struktur kalimatnya salah. Misalnya berupa anak kalimat tanpa subjek,
tanpa predikat.
Contoh : Di kampusku memiliki beberapa fakultas.
Ø Ragam bahasa tulis.
Ragam ini menekankan penggunaan ragam bahasa baku,
ejaan (EYD) yang baku, kosa kata yang baku, bentuk kata berimbuhan, dan kalimat
yang lengkap secara gramatikal.
Contoh :
· Kosa kata.
Dzikir Akbar merupakan salah satu rangkaian kegiatan
Dies maulidiyah UIN Malang.
· Bentuk Kata.
Arif sedang menulis skripsi guna memenuhi tugas akhir
di UIN Malang.
Martini memasak sayur untuk korban bencana Lumpur
Lapindo di Sidoarjo.
· Kalimat.
UIN Maliki Malang mengadakan seminar yang mengkaji
bank islami tahun 2012.
b. Pembagian ragam bahasa berdasarkan penutur.
Ragam bahasa Indonesia berdasarkan penutur ini dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu: ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam
daerah (logat/dialek), ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur, ragam
bahasa berdasarkan sikap penutur.
Ø
Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek)
Luasnya
pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia
yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa
Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli.
Masing-masing memilikiciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa
Indonesia orang Jawa Tengah tampak padapelafalan/b/pada posisiawal saat
melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa
Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha,
canthik, dll.
Ø
Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur.
Bahasa
Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda
dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal
dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas.
Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek,
pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata
bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu
bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya
dipakai.
Ø
Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
Ragam
bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan)
atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain
resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur
atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati
bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika
terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan
digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan
kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang
digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula
tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Ø
Ragam bahasa menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian
Dalam kehidupan
sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok
persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda.
Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang
digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan
dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan
ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang
digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan
istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan
sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut,
misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang
agama; koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran;
improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni;
pengacara, duplik, terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan,
peregangan, wasit digunakan dalam lingkungan olah raga. Kalimat yang digunakan
pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam
undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam sastra, kalimat-kalimat
dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam koran/majalah, dll. Contoh kalimat
yang digunakan dalam undang-undang.
Contoh:
Sanksi Pelanggaran Pasal 44:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan
atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
1. Barang siapa
dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus jutarupiah).
Barang
siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual pada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hasil hak cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Sedangkan, pada buku yang lain menyebutkan bahwa
bahasa Indonesia mengenal 4 ragam bahasa yaitu ragam bahasa hukum, ragam bahasa
ilmiah, ragam bahasa jurnalistik, dan ragam bahasa sastra
Ragam
bahasa ilmiah.
Ragam bahasa ilmiah
digunakan dalam kajian ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang terkait
dengan penulisan upaya pencarian, penemuan, pengolahan, dokumentasi, analisis
atau publikasi dalam bentuk: proposal penelitian, reproduksi suatu konsep,
pembuktian suatu kebenaran teori, temuan teori baru, pengembangan teori
sehingga menghasilkan temuan teori baru atau konsep yang belum pernah ada:
rekayasa teknologi komunikasi, rekayasa satelit pengintai, rekayasa teknologi
nuklir bidang kedokteran, teknologi nuklir pembangkit listrik, strategi
memenangkan persaingan bisnis, membangun karakter, kecerdasan, dan lain-lain.
Ragam bahasa ilmiah
merupakan sarana verbal yang efektif, efesien, baik dan benar. Ragam bahasa
ilmiah lazim digunakan untuk mengkonsumsikan proses kegiatan dan hasil
penalaran ilmiah, proposal penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi, artikel
maupun naskah.
Ciri ragam bahasa ilmiah :
· Struktur kalimat jelas dan bermakna lugas.
Lugas yang dimaksud tanpa menimbulkan tafsiran makna;
· Struktur wacana bersifat formal, mengacu pada
standar konvensi naskah;
· Singkat, berisi analisis dan pembuktian,
menyajikan konsep secara lengkap;
· Cermat dalam menggunakan unsur baku
istilah/kata, ejaan, bentuk kata, kalimat, paragraf, wacana;
· Cermat dan konsisten menggunakan penalaran dari
penentuan topik, pendahuluan, deskripsi teori, deskripsi data, analisis data,
hasil analisis, sampai dengan kesimpulan dan saran. Contohnya antara rumusan
masalah, analisis masalah, temuan atau ilmiah dan simpulan harus tersistematis.
· Penggunaan istilah khusus yang bersifat teknis dalam
bidang ilmu tertentu. Pilihan kata (diksi) mikrochip digunakan untuk teknik
informatika, kata konstitusi untuk bahasa hukum dsb.
· Objektif dapat diukur kebenarannya secara
terbuka oleh umum, menghindarkan bentuk pesona, dan ungkapan subjektif;
· Konsisten dalam pembahasan topik, pengendalian
variabel, permasalahan, tujuan, penalaran, istilah, sudut pandang, pendahuluan,
landasan teori, deskripsi data, analisis data, hasil analisis, sampai dengan
kesimpulan dan saran.
Ragam
bahasa jurnalistik
Dipakai dalam dunia
jurnalistik, hal ini berkaitan dengan media masa. Karena fungsi media masa
sebagai media informasi, kontrol sosial, alat pendidikan dan media hiburan,
maka ragam bahasa jurnalistik harus memiliki ciri komunikatif, sederhana,
dinamis, dan demokratisKomunikatif berarti mudah dipahami dan tidak menimbulkan
salah tafsir.
Bahasa jurnalistik juga
harus bersifat sederhana, dinamis, dan demokratis. Namun kesederhanaan,
kedinamisan dan kedemokratisannya harus mendukung unsur komunikatif. Bahkan
kadang-kadang untuk mewujudkan ciri komunikatif, bahasa jurnalistik tidak
mengikuti aturan kaidah bahasa Indonesia yang benar, namun hal tersebut
diperbolehkan
Ciri sederhana, tidak menggunakan kata-kata yang
bersifat teknis dan berbelit-belit, jika memang diperlukan kata teknik, harus
diikuti dengan penjelasan maknanya.
Ciri dinamis berarti bahasa jurnalistik menggunakan
kata-kata yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Ciri demokratis berarti mengikuti konsensus umum,
dimana kata tersebut berlaku global dan dipahami dengan mahsud yang sama.
Pendek kata, prinsip efektif dan efisien adalah prinsip utama yang ada pada
ragam bahasa jurnalistik.
Ragam
bahasa sastra.
Adalah ragam bahasa yang
digunakan untuk penulisan karya sastra. Ragam bahasa sastra dapat dikatakan
sebagai ragam bahasa yang bebas, karena ragam bahasa ini ditujukan untuk
keindahan. Disebut prinsip Licensia Poetica. Prinsip tersebut memperboleh
penggunaan bahasa menyimpang atau menyalahi kaidah bahasa demi keindahan sebuah
karya.
Ragam
bahasa hukum.
Adalah ragam bahasa yang
digunakan pada kalangan hukum, seperti pada undang-undang dan istilah-istilah
kepolisian.
Sumber :
http://amier-uddien.blogspot.com/2014/02/makalah-keragaman-bahasa-di-indonesia.html
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/627/Sekilas%20Tentang%20Sejarah%20Bahasa%20Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar